Pak Kartawiraji (60 th) duduk di gubug kecil di tengah ladang,
ubi goreng dan teh "tubruk" kiriman istrinya tinggal sisa-sisa,
sementara pandanganya menyapu lembah. Sore itu, di ladangnya berkumpul
banyak orang. Beberapa orang terlihat sedang memetik buah Duku,
sementara anak-anak kecil berkerumun di bawah pohon memandang ke atas,
mengikuti gerak orang yang berada di atas ranting. Mereka tengah asyik
menungu jatuhnya buah duku yang dipetik pemanen di atas, jika ada buah
jatuh, mereka ramai berebut.
“Mau minta sedikit, buat cucu”
ujarnya. Ladang tersebut milik Pak Kartawiraji, juga pohon Duku
diatasnya, tapi mengapa dia harus meminta duku? Ternyata, lima pohon
Duku miliknya sudah dibeli juragan sejak masih berupa bunga, atau
diijonkan. Maka dia dan keluarganya tak bisa puas menikmati hasil kebun
sendiri, karena hasil panen sudah bukan menjadi haknya, karena itulah
dia harus meminta kepada juragan yang nebas (membeli) Duku miliknya.
Walaupun sudah dibeli, Pak Kartawiraji masih harus bertanggungjawab
menjaga keutuhan dan memelihara tanaman sampai masa panen.
Menurut
Faried Wijaya (1991), ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang
berkembang di pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi,
tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali
dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih
hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai.
Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan
sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit
merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.
Praktek
ijon yang dilakukan pedagang/tengkulak hasil pertanian sudah mengakar
dan menjadi tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Studi yang
dilakukan BABAD untuk menganalisa rantai pemasaran produk pertanian di
Pasar Sokawera, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, menemukan bahwa
praktek ijon pada komoditas buah dan rempah-rempah pertanian lahan
kering melibatkan banyak aktor dalam mata rantai yang berperan sebagai
distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem
multilevel. Tengkulak biasanya terbagi menjadi beberapa level yang
mencerminkan tingkat kekuatan modalnya. Tengkulak kabupaten memiliki
“bawahan” beberapa tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki
beberapa “bawahan” tengkulak desa, begitu seterusnya sampai level dusun.
Modal yang dipinjamkan sampai dengan petani merupakan milik pemodal
besar di tingkat kabupaten, sementara tengkulak kecamatan, desa dan
dusun hanya mendistribusikan.
Siklus peredaran modal dimulai pada
setiap awal musim produksi tiap komoditas, misalnya ketika pohon Petai
mulai berbunga, maka saat itu pula modal pinjaman dari tengkulak besar
digelontorkan. Jika dalam waktu berdekatan terdapat lebih dari satu
jenis komoditas yang mulai berbunga, misalnya sedang musim Duku, musim
Melinjo, dan musim Pala berbunga, maka volume modal pinjaman yang
beredar juga berlipat ganda. Di Kecamatan Somagede saja terdapat
setidaknya 5 tengkulak besar yang menyalurkan pinjaman dan menampung
pembelian komoditas Gula Kelapa, Kelapa,Pala, Cengkih, Melinjo, Petai,
Duku dan Jengkol.
"Nulung Menthung"; Menolong tapi Nyolong
Petani
meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan
jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan
juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa
kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang
meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan
petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase.
Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling
tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli
dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang
dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong
menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan.
Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih
jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan
adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat
mendapatkan uang.
Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang
mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang
menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan
praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit
Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede,
ternyata kurang dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural,
walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih
menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang
ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan
sesat pikir masyarakat.
Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli
hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan
tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan
dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen
petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan
petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan
penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati
tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena
terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk
mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
Upaya
yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya
tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan
Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering
dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit
dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon,
harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah
perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang
diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk
wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
ekonomi produksi dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan
ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran
sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan
informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua, kokoh yang tak
runtuh-runtuh.
Begitu lebarkah kesenjangan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat desa, begitu kuatkah mitos kekeluargaan dalam
hubungan ekonomi antara petani dan tengkulak. Dahulu, petani mengijon
karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat
pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan
struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan
padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon.
Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan
jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata
tidak merubah pilihan petani untuk mengijon. Apakah tengkulak dan
pemodal lokal juga berhasil berbenah diri merubah pendekatan memasarkan
ijon di era sekarang, atau jeratan hutang petani kepada tengkulak tak
pernah putus sejak nenek moyangnya? Jawaban-jawaban pertanyaan tersebut
yang belum selesai kami kami kaji sampai saat ini. []
Kamis, 01 November 2012
Sistem Ijon, Pola Lama dalam Perdagangan Pertanian yang Masih Berkembang
11/01/2012 06:41:00 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salam pembuka!
BalasHapusNama saya Dewi Rumapea, saya dari kota SEMARANG, Indonesia. Saya ingin menggunakan media ini untuk menginformasikan semua dalam kelompok ini mencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. beberapa bulan yang lalu, aku finansial turun dan saya memutuskan untuk mencari pinjaman dari Man di Malaysia dan saya tertipu oleh orang di Malaysia. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal dan asli disebut Ibu Glory, pemberi pinjaman swasta yang meminjamkan jumlah pinjaman dari Rp500,000,000 tanpa stres pada tingkat bunga 2% yang merupakan terjangkau tingkat bunga untuk saya.
setelah transfer kredit saya ke rekening bank saya, saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan telah mentransfer langsung ke rekening saya dengan Ibu Glory tanpa penundaan. Karena saya berjanji ibu bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan hubungi Ibu Glory melalui email:gloryloanfirm@gmail.com
Saya menggunakan waktu ini untuk menginformasikan semua yang anda juga dapat menghubungi saya di email saya: dewiputeri9@gmail.com dan Nur Izzatul Azira Ismail, dari Malaysia yang memperkenalkan saya dan mengatakan kepada saya tentang Ibu Glory, Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Glory, Anda dapat juga menghubungi dia melalui email:utariwirmayaty@gmail.com Sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.
Catatan: Tidak ada biaya pendaftaran, asuransi atau biaya pajak
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT untuk menggunakan Ibu Glory mengubah cerita keuangan saya dan sekarang saya seorang pemilik bangga bisnis saya sendiri, semoga Allah terus memberkati Ibu Glory dan terus menggunakan nya untuk membantu kita semua dalam kesulitan keuangan