Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekwensi atau respon dari
prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam, yang menyebutkan bahwa
manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri
sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak
fakir.[1]
Jadi dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah
nilai moral hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.
Dalam
bahasan tabungan pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa
tabungan merupakan selisih dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa
dijelaskan secara detil apa yang menjadi motifasi dari tabungan
tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat bahwa tabungan
merupakan sebuah konsekwensi dari pendapatan yang tidak digunakan.
Sehingga fungsi tambahan menabung atau kecenderungan menabung marjinal
(marginal propensity to save; MPS) menjadi MPS = 1 – MPC, dimana MPC
merupakan kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propensity to
consume) dari seorang individu.
Penjelasan kecenderungan tabungan
ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang (money demand).
Kita ketahui bahwa dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki
tiga motif utama, yaitu motif transaksi (transaction), motif
berjaga-jaga (precautionary) dan motif spekulasi (speculation). Dalam
Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas ekonomi berupa
spekulasi (maisir) dilarang secara syariah. Sehingga motif yang ada
untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan berjaga-jaga,
atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan) dan
menabung.
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori
Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara
keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan
harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi
tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya
untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa
mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki
wewenang dalam memaksa individu yang berkecukupan untuk membantu
masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal
dengan nawaib[2] pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.
Bagaimana
hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam sebuah
perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat
dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh
alasan berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan
akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang
mekanismenya dalam Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki
risiko rugi. Risiko yang dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu
sinkron dengan alasan para pemilik uang untuk menahan uangnya berupa
tabungan. Meskipun hubungan itu akhirnya terjadi akibat mekanisme
perbankan syariah saat ini yang menggunakan benchmark konvensional,
dimana pos tabungan berjaga-jaga masyarakat dapat digunakan oleh bank
pada sisi pembiayaannya, konsekwensinya pada sisi pendanaan bank syariah
memberikan bonus kepada para nasabah tabungan yang bermotif
berjaga-jaga tersebut. Selain itu, berdasarkan motif dan realita
masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan konsumsi
dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri atas masyarakat muzakki,
mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa mereka yang aktif
dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan muzakki dan
mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil jika
dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam
perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung
pada besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan
berjaga-jaganya. Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat
mengkalkulasikan posisi dan peran tabungan dalam perekonomian.
Sementara
itu apa yang diyakini dalam konvensional bahwa tabungan atau excess
income yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan menjadi
”potensi investasi” dapat saja dibenarkan dalam Islam, sepanjang memang
kebutuhan mereka pada konsumsi pokok dan motif berjaga-jaga telah
terpenuhi. Walaupun begitu menyebutkan kelebihan tersebut sebagai
tabungan juga mungkin kurang tepat, karena memang ada intensi dari si
pemilik untuk menggunakan kelebihan tersebut sebagai modal untuk
men-generate keuntungan selanjutnya (investasi)[3].
Sehingga tabungan jenis ini merupakan potensi investasi yang harus
menjadi perhatian para regulator dalam rangka membuat sebuah kebijakan,
baik di sektor riil maupun di sektor moneter. Secara sederhana para
regulator harus memastikan tersedianya usaha-usaha ekonomi atau produk
keuangan syariah yang mampu menyerap ”potensi investasi”, sehingga waktu
memegang uang oleh setiap pemilik dana akan ditekan seminimal mungkin.
Dengan kata lain penyediaan regulasi berupa peluang usaha atau
produk-produk keuangan syariah akan semakin meningkatkan velocity dalam
perekonomian. Dengan demikian perhatian regulasi moneter tidak tertuju
pada konsep money supply seperti yang dianut konvensional, tapi lebih
pada velocity perekonomian.
Hubungan tabungan dan investasi dalam
perekonomian Islam yang khas ini memang berbeda dengan apa yang
dimiliki oleh konvensional. Sehingga perlu sebuah konsep pendekatan
analisa ekonomi yang mampu memberikan penjelasan yang cukup tepat
tentang posisi serta hubungan tabungan dan investasi dalam sistem
ekonomi Islam, juga peran keduanya dalam memajukan kesejahteraan
ekonomi.
Selain itu, satu hal yang juga patut mendapat perhatian
adalah prilaku menabung dari masyarakat non-muslim dimana mereka tidak
terekspos oleh risiko zakat. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem
ekonomi Islam, masyarakat non-muslim akan juga memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan warga muslim namun dalam bentuk yang berbeda.
Perlindungan kebutuhan dasar dan hak-hak sipil lainnya tak berbeda
dengan warga muslim, tapi mereka juga dikenakan kewajiban membayar
kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak individu) layaknya muslim
membayarkan kewajibannya berupa zakat. Dengan begitu warga non-muslim
juga menghadapi risiko harta idle-nya berkurang, sehingga menabung akan
juga tetap terjaga pada porsi yang sama dengan tabungan warga muslim
dengan motif berjaga-jaga. Sementara kelebihan uang atau harta warga
non-muslim akan ”dipaksa” untuk masuk dalam mekanisme investasi yang
sebenarnya. Yaitu investasi yang berkaitan dengan usaha produktif di
sektor riil.
[1]
Kondisi dimana diyakini akan meningkatkan potensi manusia untuk berbuat
hal-hal yang tidak sesuai dengan akidah dan akhlak Islam (kufur).
[2]
Pajak ini sifatnya kondisional atau berlaku sementara, artinya
diberlakukan sepanjang kondisi masyarakat memerlukan pajak ini. Ketika
kondisi ekonomi sudah membaik, maka pajak ini pun tidak lagi dipungut.
Lihat M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy: An
Islamic Perspective, The Islamic Foundation, Leicester UK, 1996.
[3]
Definisi tabungan disini bermakna dua; pertama tabungan yang ditujukan
untuk berjaga-jaga dan tabungan yang ditujukan untuk investasi. Tentu
saja investasi yang produktif, bukan investasi dalam makna luas yang
dilakukan oleh konvensional, dimana aktivitas spekulasi masuk dalam
definisi investasi ini.
Sabtu, 03 November 2012
Konsep Tabungan dalam Islam
11/03/2012 05:38:00 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar